Advertisement - Scroll ke atas
Film

Sinergi Film Bugis Makassar: Promosi Budaya Lewat Layar Lebar

721
×

Sinergi Film Bugis Makassar: Promosi Budaya Lewat Layar Lebar

Sebarkan artikel ini
Sinergi Film Bugis Makassar: Promosi Budaya Lewat Layar Lebar
Di penghujung tahun 2024, sinergi dan silaturahim menjadi tema hangat yang terjalin dalam acara Cinema n Culture Talk yang berlangsung di Cafe RioLo, Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, pada Sabtu (21/12/2024). Hal ini juga menjadi ajang promosi tiga film yang mengangkat budaya Bugis Makassar: Coto Vs Konro, Badik, dan Solata.

JAKARTA—Di penghujung tahun 2024, sinergi dan silaturahim menjadi tema hangat yang terjalin dalam acara Cinema n Culture Talk yang berlangsung di Cafe RioLo, Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, pada Sabtu (21/12/2024). Hal ini juga menjadi ajang promosi tiga film yang mengangkat budaya Bugis Makassar: Coto Vs Konro, Badik, dan Solata.

Kegiatan ini digagas oleh DemiFilmIndonesia (DFI) yang bekerja sama dengan DemiFilmMakassar (DFM) serta Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Sejumlah tokoh perfilman dan budaya turut hadir, menandai sinergi antara film dan budaya Sulawesi Selatan yang semakin menguat.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Irham Acho Bahtiar, produser sekaligus sutradara Coto Vs Konro, mengungkapkan rasa bangganya sebagai salah satu panelis dalam acara tersebut. Ia menyampaikan harapannya agar film ini bisa menjadi jembatan budaya sekaligus hiburan bagi masyarakat luas.

“Meski judulnya Coto Vs Konro, kami ingin menekankan bahwa makanan khas seperti Pallumara adalah simbol pemersatu. Kami berharap film ini, yang dijadwalkan tayang pada Kamis, 6 Februari 2025, mendapat dukungan penuh dari semua pihak,” ujarnya dengan penuh optimisme.

Rara, produser sekaligus pemain dalam film Badik, menekankan pentingnya film ini sebagai medium untuk melestarikan nilai budaya dan sejarah Bugis Makassar.

“Badik bukan hanya sekadar senjata tajam, tetapi juga simbol harga diri dan cinta masyarakat kami. Film ini adalah upaya untuk mendokumentasikan warisan budaya yang penting,” katanya dengan semangat.

Sekretaris Jenderal BPP KKSS, Abdul Karim, bersama sejumlah tokoh lainnya, memberikan dukungan penuh terhadap inisiatif ini. Ia memastikan KKSS siap membantu promosi, termasuk menyediakan surat dukungan untuk memperluas jangkauan film-film tersebut.

“Kami ingin memastikan bahwa film-film ini dikenal secara nasional. Jika ada informasi seperti trailer atau poster, kami siap membantu menyebarkannya,” ujar Abdul Karim yang disambut tepuk tangan meriah.

Dukungan lain datang dari M. Sangupri, pengamat film nasional, yang menegaskan bahwa film seperti ini bukanlah sekadar karya lokal, melainkan bagian dari sinema nasional. Ia mengingatkan tentang potensi besar perfilman Sulawesi Selatan yang pernah terlihat lewat film seperti Uang Panai dan Mappacci.

“Semua film memiliki pesan universal. Mari kita jadikan karya seperti Coto Vs Konro, Badik, dan Solata sebagai bagian dari sinema nasional yang layak diapresiasi,” tuturnya.

Pendapat serupa disampaikan Daenk AliF, pengamat budaya dan wartawan senior, yang menolak istilah “film daerah”. Baginya, semua film yang dihasilkan sineas dari berbagai wilayah Indonesia adalah karya nasional.

“Film adalah ekspresi budaya yang harus didukung oleh pemerintah dan masyarakat. Saatnya kita menghapus batasan-batasan seperti itu,” ujarnya dengan tegas.

Yan Widjaya, pengamat perfilman nasional, menyoroti pentingnya promosi untuk menarik perhatian penonton. Ia optimistis karya yang mengangkat budaya lokal dapat bersaing di tingkat nasional.

“Promosi adalah kunci. Dengan kolaborasi yang solid, film seperti Coto Vs Konro, Badik, dan Solata bisa menarik minat jutaan penonton,” katanya. (*)

error: Content is protected !!