OPINI—Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana mentaati penguasa. Namun Islam juga mengajarkan bagaimana cara menasihati penguasa yang secara nyata melakukan tindakan kedzaliman kepada rakyatnya. Islam secara tegas memerintahkan untuk menaati Ulil Amri (penguasa). Dalil yang mewajibkan ketaatan kepada penguasa kaum Muslim jumlahnya sangat banyak, baik al-Quran, as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat.
Allah SWT, berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir. Yang demikian lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Siapa saja yang mentaati aku, dia benar-benar telah mentaati Allah. Siapa saja yang tidak mentaati aku, dia pun tidak mentaati Allah. Siapa saja yang mentaati pemimpinnya, dia benar-benar telah mentaati aku. Siapa saja yang tidak mentaati pemimpinnya, dia pun tidak mentaati aku (HR Ibn Hibban, dari Abu Hurairah).
Dalil syar’i ini merupakan dalil kewajiban seorang muslim menaati penguasa. Namun tidak dapat di pungkiri penguasa negeri-negeri muslim saat ini tidak lagi menjadikan Al Quran dan Hadits sebagai sumber hukum dalam perundang-undangan. Hal ini tentunya menjadi sumber kerusakan sistem yang terjadi di setiap negeri kaum muslim. Akibatnya kaum muslimin terus saja mengalami kedzaliman yang berkepanjangan hampir di segala bidang.
Oleh karenanya wajib melakukan koreksi kepada penguasa atas kepemimpinannya dalam rangka menasehati. Adapun aktivitas mengoreksi penguasa, yakni dengan menyerukan kebaikan (makruf) dan melarang yang buruk (munkar), merupakan sebagian dari perintah Allah SWT.
Ini sebagaimana tersurat dalam ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kaum muslim untuk menyerukan kepada yang makruf dan melarang perbuatan yang mungkar. (QS Ali ‘Imran: 104). Dengan demikian, terdapat dalil syara’ yang secara eksplisit memerintahkan kaum muslim untuk mengoreksi penguasa.
Athiyyah meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran (al-haq) kepada pemimpin yang zalim.” (HR Abu Dawud).
Abu Umamah meriwayatkan, “Seseorang mendatangi Rasulullah saw. Saat (melempar) jumrah yang pertama (saat haji), lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah jihad yang paling utama?’ Nabi tidak menjawab. Ketika Nabi melemparkan jumrah yang kedua, orang tersebut bertanya lagi. Nabi tetap tidak menjawab.
Setelah selesai melempar jumrah ‘Aqabah, sambil meletakkan kaki beliau di atas pelana untuk menaikinya, Nabi bertanya, ‘Siapa tadi yang bertanya?’ Orang tersebut menjawab, ‘Saya, ya Rasul.’ Kemudian Nabi menjawab, ‘Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang zalim.’” (HR Ibnu Majah).
Hadis-hadis di atas merupakan dalil yang mewajibkan kaum muslim untuk menyampaikan kebenaran kepada para pemimpin dan mengawasi jalannya pemerintahan dan kepemimpinannya. Bukan sekedar taat semata dan bahkan diam melihat kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa. Dengan dalil wajib taat pada pemerintah.
Maka jelas hal ini merupakan sikap fatalis yang pasrah pada keadaan melihat kedzaliman yang terjadi. Diamnya kaum muslimin pada kedzaliman yang dilakukan penguasa seakan memuluskan jalan bagi penguasa untuk tetap melakukan kedzaliman-kedzaliman berikutnya.
Rasulullah saw. Mendorong umat Islam untuk berjuang melawan penguasa yang dzalim, tanpa memikirkan akibat atau bahaya yang timbul, meskipun sampai mengakibatkan kematian.
Rasulullah saw. Bersabda, “Penghulu syuhada adalah Hamzah ibnu Abdul Muththallib dan (setara dengannya) orang-orang yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim, memerintahkannya (yang makruf) dan melarangnya (dari perbuatan yang mungkar), dan ia (pemimpin tersebut) membunuhnya.” (HR Al-Hakim dari Jabir ra.).
Rasulullah Saw. Telah bersabda: “Tunduk dan patuh diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh tunduk dan tidak boleh patuh.”(Imam Abu Daud)
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan”[ HR. Al-Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa-i (VII/159-160), Ahmad (I/94]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.”[ HR. Al-Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839), at-Tirmidzi (no. 1707), Ibnu Majah (no. 2864)]
Jika melihat fakta yang terjadi di masyarakat. Kemaksiatan yang dilakukan oleh penguasa itu bisa dikategorikan menjadi dua: Pertama, menyalahi sesuatu yang qath’i, baik yang terkait dengan akidah maupun hukum syariah.
Kedua, menyalahi kaidah hukum yang dia adopsi sehingga hukum yang diadopsi sebagai perundang-undangan tidak bisa dianggap sebagai hukum syariah bagi dirinya. Maka, baik dalam konteks yang pertama maupun kedua, dia sama-sama tidak boleh ditaati.
Adapun dalam sistem pemerintahan Islam perundang-undangan yang diadopsi penguasa itu bisa dibagi menjadi dua: Pertama, perundang-undangan syariah. Dalam hal ini penguasa tidak boleh mengadopsi perundang-undangan yang lain, selain perundang-undangan yang bersumber dari syariah, bukan yang lain. Kedua, perundang-undangan administrasi, seperti peraturan lalu lintas, kependudukan, dan sebagainya.
Ini merupakan masalah usluub yang bersifat mubah. Dalam konteks ini penguasa bisa mengadopsi sistem dari mana saja, selama mubah. Meski hukum asalnya mubah, mentaati penguasa dalam konteks ini hukumnya wajib.
Maka jelaslah sikap yang harus diambil oleh kaum muslimin ketika mereka melihat adanya ketimpangan dalam pelaksanaan kepemimpinan yang dilakukan oleh penguasa wajib melakukan koreksi baik secara individu atau kelompok/jamaah. Bukan sekedar taat tapi ada batas-batas ketaatan yang harus dipahami. Wallahu a’lam. (*)
Ifah Rasyidah (Pegiat Literasi Islam)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

















